ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang.
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain.
Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
B.     Permasalahan
Adapun permasalahan yang kami angkat dari makalah ini adalah bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kehilangan dan berduka disfungsional.
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, adalah:
  1. Tujuan umum
·         Mengetahui konsep kehilangan dan berduka.
  • Mengetahui  asuhan keperawatan pada kehila.ngan dan berduka disfungsional
  1. Tujuan khusus
  • Mengetahui jenis-jenis kehilangan.
  • Menjelaskan konsep dan teori dari proses berduka.
  • Mengetahui faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan.


BAB II
LANDASAN TEORI
1. Kehilangan
A. Definisi kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu.

B. Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
1. Aktual atau nyata
Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.
C.                Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:
  • Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.
  • Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
  • Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.
  • Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
  • Kehilangan kehidupan/ meninggal
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.
D.                Rentang Respon Kehilangan
Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance
1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah.
2. Fase anger / marah
a. Mulai sadar akan kenyataan
b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
d. Perilaku agresif.
3. Fase bergaining / tawar- menawar.
a. Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit bukan saya “ seandainya saya hati-hati “.
4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah, akhirnya saya harus operasi “
Berduka
A.    Definisi berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

B.     Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
  1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
  • Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
  • Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
  • Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
  • Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
  • Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
  1. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a)                Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b)               Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
c)                Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
d)               Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.

e)                Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
  1. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
  1. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
  1. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
2.      Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
3.      Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.


PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA
ENGEL (1964)
KUBLER-ROSS (1969)
MARTOCCHIO (1985)
RANDO (1991)
Shock dan tidak percaya
Menyangkal
Shock and disbelief
Penghindaran
Berkembangnya  kesadaran
Marah
Yearning and protest

Restitusi
Tawar-menawar
Anguish, disorganization and despair
Konfrontasi
Idealization
Depresi
Identification in bereavement

Reorganization / the out come
Penerimaan
Reorganization and restitution
akomodasi
Rentang Respon Kehilanagn
Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “ Tidak, saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. Bagi individu atau keluarga yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun.

Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak pecus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa “. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan anak saya”.

Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido manurun.

Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis “ atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.

Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.



BAB III
ASKEP BERDUKA DISFUNGSIONAL
Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
A. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.

B. Rencana Tindakan Keperawatan
Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis
- Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
- Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.
2. Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
3. Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4. Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
5. Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi dengan orang lain.

Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung dalam mengatasi perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan perasaannya.
4. Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi tidak terlibat secara emosi.
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang
R/ Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan harga diri klien.

Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1. Klien merasa harga dirinya naik.
2. Klien mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.

Intervensi
1. Merespon kesadaran diri dengan cara :
~ Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
~ Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
~ Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/ Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat – klien.

2. Menyelidiki diri dengan cara :
~ Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
~ Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui keterbukaan.
~ Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
R/ klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan terhadap dirinya sendiri.

3. Mengevaluasi diri dengan cara :
~ Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
~ Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
R/ Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara konstruktif.

4. Membuat perencanaan yang realistik.
~ Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
~ Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
R/ Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya dengan cara menentukan perencanaan yang realistik.

5. Bertanggung jawab dalam bertindak.
~ Membantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif dan mempertahankan respon koping yang adaptif.
R/ Penggunaan koping yang adaptif membantu dalam proses penyelesaian masalah klien.

6. Mengobservasi tingkat depresi.
~ Mengamati perilaku klien.
~ Bersama klien membahas perasaannya.
R/ Dengan mengobservasi tingkat depresi maka rencana perawatan selanjutnya disusun dengan tepat.

7. Membantu klien mengurangi rasa bersalah.
~ Menghargai perasaan klien.
~ Mengidentifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
~ Memberikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
~ Bersama klien membahas pikiran yang selalu timbul.
R/ Individu dalam keadaan berduka sering mempertahankan perasaan bersalahnya terhadap orang yang hilang.

Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas.
Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2. Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
3. Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
4. Klien dapat merawat kukunya sendiri.

Intervensi :
1. Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
R/ Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.

2. Menganjurkan klien untuk mandi.
R/ Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat melakukan sendiri.

3. Menganjurkan pasien untuk mencuci baju.
R/ Diharapkan klien mandiri.

4. Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.
R/ Diharapkan klien mandiri.

5. Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.
R/ Diharapkan klien mandiri
R/ Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien yang lain

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang
  1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap.
  2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep kehilangan secara jujur.
  3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: Aktual atau nyata dan persepsi. Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai, kehilangan lingkungan yang sangat dikenal, kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri, dan kehilangan kehidupan/meninggal.
Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon berduka dalam lima fase, yaitu : pengikaran, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.
2.      Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
3.      Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri, Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
4.      Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.


Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Autisme


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.
Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik.
Jumlah anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40% sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut di atas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang namun diperkirakan jumlah anak austime dapat mencapai 150 - 200 ribu orang.
Berdasarkan hal diatas, maka kami sebagai penulis tertarik untuk lebih memahami konsep anak dengan autisme, dimana konsep ini saling terkait satu sama lain. Semoga Askep ini dapat membantu para orang tua, masyarakat umum dan khusnya kami (mahasiswa keperawatan) dalam memahami anak dengan autisme, sehingga kami harapkan kedua anak dengan kondisi ini dapat diperlakukan dengan baik.

B.     Tujuan
a.       Tujuan umum
Agar mahasiswa dapat mengetahui Asuhan Keperawatan pada anak dengan autism.
b.      Tujuan Khusus
a)      Mahasiswa memahami pengertian Autisme.
b)      Mahasiswa memahami etiologi dan manifestasi klinik  autisme
c)      Mahasiswa memahami cara mengetahui autis pada anak.
d)     Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan anak
        dengan autism.
       
C.     Ruang Lingkup
Batasan masalah yang akan dibahas dalam masalah ini adalah kelainan perkembangan perpasif pada anak dengan autisme.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Defenisi
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum usia 30 bulan.(Behrman, 1999: 120)
Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.(Sacharin, R, M, 1996: 305)
Autisme pada anak merupakan gangguan perkembangan pervasif (DSM IV, sadock dan sadock 2000)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pervasif, atau kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik berupa kegagalan mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan),hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif serta penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas.

B.     EPIDEMIOLOGI
Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Perbandingan laki-laki dari wanita 3-4:1. Penyakit sistemik, infeksi dan neurologi (kejang) dapat menunjukan gejala seperti austik.

C.     ETIOLOGI
a.      Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot) terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan kemampuan bicara).
b.      Kelainan kromosim (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).
c.      Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).
d.     Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum, keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus otak depan.
e.      Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan gangguan sensori serta kejang epilepsi
f.      Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak
Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak dipengaruhi oleh
Pada masa bayi terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak, anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya kontak mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua memperlihatkan rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi pra verbal kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak. Pada masa anak-anak dan remaja, anak yang autis memperlihatkan respon yang abnormal terhadap suara anak takut pada suara tertentu, dan tercengggang pada suara lainnya. Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami kebisuan. Mereka yang mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan konstruksi telegramatik. Dengan bertumbuhnya anak pada waktu berbicara cenderung menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu. Ditemukan kelainan persepsi visual dan fokus konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu lukisan secara sebagian bukan menyeluruh). Tertarik tekstur dan dapat menggunakan secara luas panca indera penciuman, kecap dan raba ketika mengeksplorais lingkungannya. Pada usia dini mempunyai pergerakan khusus yang dapt menyita perhatiannya (berlonjak, memutar, tepuk tangan, menggerakan jari tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang menyenangkan atau stres. Kelainann lain adalh destruktif , marah berlebihan dan akurangnya istirahat.
Pada masa remaja perilaku tidak sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual pada orang asing.

D.    CARA MENGETAHUI AUTISME PADA ANAK

Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
a.      Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
b.      Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
c.       Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.

Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.
a.      Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b.      Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya.
c.       Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.

E.     MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
a.      Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
b.      Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c.       Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
d.      Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .
e.       Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f.       Kontak mata minimal atau tidak ada.
g.      Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h.      Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional
i.        Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j.        Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
k.      Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.

Ciri yang khas pada anak yang austik :
a.      Defisit keteraturan verbal.
b.      Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
c.      Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
a.      Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
b.      Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
c.       Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak imajinatif.
Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.

F.      PENGOBATAN
Orang tua perlu menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya, orang tua harus memeberikan perawatan kepada anak temasuk perawat atau staf residen lainnya. Orang tua sadar adanaya scottish sosiety for autistik children dan natinal sosiety for austik children yang dapat membantu dan dapat memmberikan pelayanan pada anak autis. Anak autis memerlukan penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi, terapi perilaku, terapi bicara, terapi okupasi, sensori integasi, auditori integration training (AIT),terapi keluarga dan obat, sehingga memerlukan kerja sama yang baik antara orang tua , keluarga dan dokter.
Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak austik tapi keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan pemanfaatan keadaan yang terjadi dapat meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku destruktif dan agresif dapat diubah dengan menagement perilaku.
Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant konditioning yaitu dukungan positif (hadiah) dan hukuman (dukungan negatif). Merupakan metode untuk mengatasi cacat, mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis. Kesabaran diperlukan karena kemajuan pada anak autis lambat.
Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani perilaku mencelakkan diri sendiri yang mengarah pada agresif, stereotipik dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Antagonis opiat dapat mengatasi perilaku, penarikan diri dan stereotipik, selain itu terapi kemampuan bicara dan model penanganan harian dengan menggunakan permainan latihan antar perorangan terstruktur dapt digunakan.
Masalah perilaku yang biasa seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat diatasi dengan obat klorpromasin atau tioridasin.
Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan responsedatif seperti kloralhidrat, konvulsi dikendalikan dengan obat anti konvulsan. Hiperkinesis yang jika menetap dan berat dapat ditanggulangi dengan diit bebas aditif atau pengawet.

Ada pun Macam-macam terapi autis lainnya diantaranya:
Terapi akupunktur. Metode tusuk jarum ini diharapkan bisa menstimulasi sistem saraf pada otak hingga dapat bekerja kembali.
Terapi musik. Lewat terapi ini, musik diharapkan memberikan getaran gelombang yang akan berpengaruh terhadap permukaan membran otak. Secara tak langsung, itu akan turut memperbaiki kondisi fisiologis. Harapannya, fungsi indera pendengaran menjadi hidup sekaligus merangsang kemampuan berbicara.
Terapi balur. Banyak yang yakin autisme disebabkan oleh tingginya zat merkuri pada tubuh penderita. Nah, terapi balur ini bertujuan mengurangi kadar merkuri dalam tubuh penyandang autis. Caranya, menggunakan cuka aren campur bawang yang dilulurkan lewat kulit. Tujuannya melakukan detoksifikasi gas merkuri.
Terapi perilaku. Tujuannya, agar sang anak memfokuskan perhatian dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Caranya dengan membuat si anak melakukan berbagai kegiatan seperti mengambil benda yang ada di sekitarnya.
Terapi anggota keluarga. Orangtua harus mendampingi dan memberi perhatian penuh pada sang anak hingga terbentuk ikatan emosional yang kuat. Umumnya, terapi ini merupakan terapi pendukung yang wajib dilakukan untuk semua jenis terapi lain
Dan terakhir, adalah terapi lumba-lumba. Telah diketahui oleh dunia medis bahwa di tubuh lumba-lumba teerkandung potensi yang bisa menyelaraskan kerja saraf motorik dan sensorik pendeerita autis. Sebab lumba-lumba mempunyai gelomba sonar (gelombang suara dengan frewkuensi tertentu) yang dapat merangsang otak manusia untuk memproduksi energi yang ada dalam tulang tengkorak, dada, dan tulang belakang pasien sehingga dapat membentuk keseimbangan antara otak kanan dan kiri. Selain itu, gelombang suara dari lumba-lumba juga dapat meningkatkan neurotransmitter.
Terapi anak autis dengan lumba-lumba sudah terbukti 4 kali lebih efektif dan lebih cepat dibanding terpi lainnya. Gelombang suara yang dipancarkan lumba-lumba ternyata berpengaruh pada perkembangan otak anak autis.
Bedasarkan keberhasilan terapi gelombang lumba-lumba, maka CD Terapi Anak Autis ini diciptakan. Gelombang Sonar yang dihasilkan oleh lumba-lumba bisa direkam, dan ditiru pola gelombangnya untuk diproduksi secara digital. Produk CD ini adalah hasil karya digita yang "meniru" pola gelombang suara lumba-lumba untuk penyembuhan.
Terapi Gelombang Otak untuk Autis ini menggunakan Frekwensi Gelombang SMR atau Sensori Motor Rhytm.  Penderita epilepsy, ADHD ( Attention Deficit and Hyperactivity Disorder) dan Autism ternyata tidak menghasilkan gelombang jenis ini. Para penderita gangguan di atas tidak tidak mampu berkonsentrasi atau fokus pada suatu hal yang dianggap penting. Sehingga setiap pengobatan yang tepat adalah cara agar otaknya bisa menghasilkan getaran SMR tersebut.
Kami, sebagai pemilik gelombangotak.com, bukanlah seorang ahli dalam pengobatan anak autis. kami bukan dokter atau psikolog. Namun kami tahu, CD Terapi Anak Autis sudah membantu banyak orang. Puluhan orang tua yang sudah membeli CD ini mengabarkan perkembangan motorik dan kognitif anak autis mereka lebih cepat dan lebih baik dibanding sebelum menggunakan CD Terapi Anak Autis ini.
Kami tidak menjamin CD Terapi Anak Autis yang harganya sangat terjangkau ini bisa membuat anak autis sembuh/normal 100%, tapi mendengar penuturan para pembeli CD Terapi Anak Autis ini, kami sangat yakin bahwa CD ini akan sangat membantu kemajuan anak autis. Oya... perlu anda ingat, CD Terapi Anak Autis bukanlah pengobatan utama, melainkan hanya sebagai terapi pelengkap untuk anak autis. Tetaplah berkunjung ke dokter atau ahli lainnya untuk memeriksakan anak anda tercinta.
Banyak anak autis yang tidak mendapat kesempatan menikmati terapi lumba-lumba. Mungkin karena masalah biaya atau memang karena di kota tempat anda tinggal tidak ada tempat terapi lumba-lumba. Namun dengan CD Audio Branwave Terapi Anak Autis yang meniru pola gelombang lumba-lumba, masalah biaya dan kelangkaan terapi lumba-lumba sudah bisa diatasi.
CARA MENGGUNAKANNYA sangat mudah..! Anda putar saja CD Terapi Anak Autis ini di ruangan atau tempat bermain anak anda. Boleh juga diputar di kamar tidur, saat anak anda sedang tidur. Anda tida perlu memaksa anak Anda untuk konsentrasi mendengarkannya. Putar saja CD ini seperti memutar musik. Meskipun anak tidak mendengarkan, otak anak tetap merespon rangsangan gelombang suara frekuensi tertentu yang keluar dari speaker. CD ini bisa diputar dengan semua perangkat elektronik yang bisa memutar mp3. Gunakan speaker stereo untuk hasil tebaik. CD Audio Brainwave Terapi Anak Autis ini sangat aman digunakan oleh siapapun, semudah mendengarkan musik.

Dapat disimpulkan bahwa terapi pada autisme dengan mendeteksi dini dan tepat waktu serta program terapi yang menyeluruh dan terpadu.
Penatalaksanaan anak pada autisme bertujuan untuk:
a.       Mengurangi masalah perilaku.
b.      Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa.
c.       Anak bisa mandiri.
d.      Anak bisa bersosialisasi.

G.    PROGNOSIS
Anak terutama yang mengalami bicara, dapat tumbuh pada kehidupan marjinal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi, hidup dalam masyarakat, namun pada beberapa anak penempatan lama pada institusi mrp hasil akhir. Prognosis yang lebih baik adalah tingakt intelegensi lebih tinggi, kemampuan berbicara fungsional, kurangnya gejala dan perilaku aneh. Gejala akan berubah dengan pertumbuhan menjadi tua. kejang-kejang dan kecelakaan diri sendiri semakin terlihat pada perkembangan usia.

ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
a.       Factor predisposisi
b.      Psikososial
c.       Konsep diri
d.      Staus mental
e.       Mekanisme koping

B.     Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1.      Ketidakmampuan Koping Individu
2.      Harga Diri Rendah
3.      Kecemasan pada orangtua
4.      Kurangnya pengetahuan
Diagnosa Keperawatan :
1.      Ketidakmampuan koping individu berhubungan dengan tidak adekuat keterampilan pemecahan masalah.
Domain 9         : Koping/Toleransi terhadap stress
  Daya tampung terhadap peristiwa atau proses kehidupan
Kelas 2                        : Respon Koping
  Proses dalam mengelolah stress lingkungan
Pengertian       : ketidakmampuan untuk membentuk penilaian yang benar dari stressor, pemilihan respon tidak adekuat, dan atau ketidakmampuan dalam menggunakan sumber-sumber yang tersedia.

Sign Symptom :
§  Gangguan tidur
§  Penurunan dukungan social
§  Pemecahan masalah tak adekuat
§  Perubahan pola komunikasi

2.      Harga diri rendah berhubungan dengan respon negatif teman sebaya, kesulitan dalam berkomunikasi.
Domain 6 : Persepsi Diri
Kesadaran terhadap diri
Kelas 2 :   harga diri
Penilaian terhadap diri sendiri dalam kemampuan diri, kejelekan diri,kepentingan dan kesuksesan
Pengertian : Keadaan yang lama mengenai evaluasi diri atau perasaan mengenai diri atau kemampuan diri yang negative.
Sign Symptom :
§  Mengevaluasi diri tidak mampu menangani situasi baru.
§  Kurang kontak mata
§  Mencari ketenangan berlebihan

3.      Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembangan anak.
Domain 9        : Koping / Toleransi terhadap stress
  Daya tampung terhadap peristiwa atau proses kehidupan.
Kelas 2            : respon koping
  Proses dalam mengelola stress lingkungan.
Pengertian : Perasaan tidak nyaman atau ketakutan yang tidak jelas dan gelisah disertai dengan respon otonom (sumber terkadang tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu), perasaan yang was-was untuk mengatasi bahaya. Ini merupakan sinyal peringatan akan adanya bahaya dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah untuk menghadapinya.
Sign symptom :
§  Gelisah
§  Mudah tersinggung
§  Khawatir

4.      Kurang pengetahuan pada orang tua berhubungan dengan cara mengatasi anak dengan kesulitan belajar.
Domain 5 : Persepsi / Kognisi
System dalam memproses informasi termasuk perhatian, orientasi, sensasi, persepsi, kognisi, dan komunikasi.
Kelas 4 :  kognisi
Penggunaan dalam memori, belajar, berpikir, pemecahan masalah, abstaksi, pengambilan keputusan, insight/pandangan, kapasitas intelektual, menghitung dan bahasa.
Pengertian :
Tidak ada atau kurang informasi kognitif berhubungan dengan topic yang spesifik.
Sign symptom :
§  Mengungkapkan adanya masalah
§  Mengikuti instruksi tidak akurat
§  Prilaku berlebihan atau tidak sesuai.

INTERVENSI
a.       Ketidakmampuan koping individu berhubungan dengan tidak adekuat keterampilan pemecahan masalah.
Tujuan : Klien mampu memecahkan masalah dengan koping yang efektif
1.      CLIEN OUT COMES  :
·         Koping klien teratasi
·         Klien mampu membuat keputusan
·         Klien mampu mengendalikan impuls
·         Klien mampu memproses informasi
2.      NURSING OUT COMES : Koping
Indicator :                                                                                     
Ä  Mengidentifikasi pola koping yang efektif
Ä  Mencari informasi terkait dengan penyakit dan pengobatan
Ä  Menggunakan prilaku untuk menurunkan stress
Ä  Mengidentifikasi dan menggunakan berbagai strategi koping
Ä  Melaporkan penurunan perasaan negatif
3.      NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION : Peningkatan Koping
Aktivitas
·         Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarganya.
·         Beri kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan masalahnya.
·         Beri bimbingan kepada anak untuk dapat mengambil keputusan.
·         Anjurkan kepada orang tua untuk lebih sering bersama anaknya.
·         Hadirkan sibling untuk memberikan motivasi
·         Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk mengurangi tingkat stress anak.
b.      Harga diri rendah berhubungan dengan respon negatif teman sebaya, kesulitan dalam berkomunikasi.
Tujuan : klien dapat meningkatkan kepercayaan dirinya.
1.      CLIEN OUT COMES  :
·         Klien mampu menunjukkan Harga dirinya
2.      NURSING OUT COMES : Harga Diri
Indicator :                                                                                     
Ä  Mengungkapkan penerimaan diri secara verbal
Ä  Mempertahankan postur tubuh tegak
Ä  Mempertahankan kontak mata
Ä  Mempertahankan kerapihan/hygiene
Ä  Menerima kritikan dari orang lain
3.      NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION : Peningkatan Harga Diri
Aktivitas
·         Beri motivasi pada anak.
·         Beri kesempatan anak mengungkapkan perasaannya.
·         Beri latihan intensif pada anak untuk pemahaman belajar berkomunikasi.
·         Modifikasi cara belajar sehingga anak lebih tertarik.
·         Beri reward pada keberhasilan anak.
·         Gunakan alat bantu/peraga dalam belajar berkomunikasi.
·         Berikan suasana yang nyaman dan tidak menegangkan.
·         Anjurkan kepada keluarga untuk mendekatkan anak pada sibling.
c.       Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembangan anak.
Tujuan : Kecemasan orang tua tidak berkelanjutan.
1.      CLIEN OUT COMES  :
·         Pasien mengerti tentang prosedur pengobatan
·         Pasien tidak gelisah
·         Pasien tidak merasa cemas
·         Pasien tampak tenang
2.      NURSING OUT COMES : Kontrol Ansietas
Indicator :                                                                                     
Ä  Merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi yang membuat stress
Ä  Mempertahankan penampilan peran
Ä  Melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori
Ä  Manifestasi prilaku akibat kecemasan tidak ada
Ä  Melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik
3.      NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION : Pengurangan Ansietas
Aktivitas
·         Anjurkan orang tua untuk selalu memotivasi anaknya.
·         Anjurkan orang tua untuk memberikan anaknya bimbingan belajar intensif.
·         Anjurkan orang tua agar selalu memantau prilaku anak.
·         Kolaborasi dengan ahli gizi untuk keseimbanga gizi anak.
·         Anjurkan orang tua untuk membawa anaknya ke dokter bila perlu.
·         Beri penjelasan tentang kondisi anak kepada orang tua.
d.      Kurang pengetahuan pada orang tua berhubungan dengan cara mengatasi anak dengan kesulitan berkomunikasi.
Tujuan : pengetahuan keluarga bertambah
1.      CLIEN OUT COMES  :
·         Klien mengatakan memahami dan mengerti tentang proses penyakit dan prosedur tindakan pengobatan.
2.      NURSING OUT COMES : 
Indicator :                                                                                     
Ä  Mengidentifikasi keperluan untuk penambahan informasi menurut penanganan yang di anjurkan
Ä  Menunjukkan kemampan melaksanaan aktivitas
3.      NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION :
Aktivitas
·         Anjurkan orang tua bersama dengan anak untuk membuat jadwal belajar berkomunikasi.
·         Luangkan waktu kepada orang tua untuk mendengarkan keluhan.
·         Anjurkan orang tua untuk lebih memperhatikan perkembangan anak.
·         Berikan anak makanan seimbang, 4 sehat 5 sempurna untuk menutrisi otak.
·         Berikan suplemen bila perlu.
·         Kenali cara/metoda belajar anak.
·         Biarkan anak menggunakan inisiatif/pemikirannya selama masih dalam batas yang wajar.


DAFTAR PUSTAKA

1.Sacharin, r.m, 1996, Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2, EGC, Jakarta
2. Behrman, Kliegman, Arvin, 1999, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15, Alih Bahasa Prof. DR. Dr. A. Samik Wahab, Sp. A (K), EGC, Jakarta
3.diagnosa keperawatan NANDA